TagBoard 
nama

URL or Email

pesan(smilies)



arsip


Tuesday, June 24, 2003
Remy Sylado: Saya Pilih Tema yang Tidak Digarap Orang Lain

Banyak nasib baik menghampiri Remy Sylado bulan-bulan terakhir ini. Novelnya, Kerudung Merah Kirmizi menyabet Hadiah Khatulistiwa 2002. Novelnya yang lain, Ca Bau Kan telah enam kali naik cetak, difilmkan, lalu film ini masuk dalam unggulan 45 film terbaik Piala Oscar 2003 untuk kategori film luar negeri.

Sejak muda, lelaki bernama asli Yapi Tambayong —nama Remy Sylado adalah ingatan pada keberaniannya mencium perempuan untuk pertama kali pada tanggal 23 bulan 7 tahun ‘61 —ini memang selalu menyedot perhatian. Ia memelopori gerakan puisi mbeling pada 1970-an lewat Aktuil —majalah yang jadi barometer perkembangan musik Indonesia waktu itu, menggelar pengadilan puisi di Bandung, dan mementaskan pertunjukan yang bikin geger, seperti ‘Jesus Christ Super Star’. Aktivitasnya ketika itu adalah wujud perlawanannya terhadap kemapanan, termasuk pada para "penyair resmi".

Di usianya yang sudah 57 tahun, penulis Parijs van Java — novel yang beberapa waktu lalu diturunkan sebagai cerita bersambung di Koran Tempo — ini tetap sibuk. Pada 11 Januari lalu, ia bersama Oka Rusmini —penulis novel Tarian Bumi, diundang menghadiri Festival Winternachten di Belanda.

Di tengah kesibukannya me nulis —antara lain Sam Po Kong dengan 30 buku referensi, melukis, dan bepergian ke berbagai kota untuk riset dan berbicara dalam pelbagai forum termasuk ceramah teologi untuk para pendeta, Remy menerima Arif Firmansyah dari Koran Tempo untuk wawancara. Berikut petikannya:

***

TANYA (T) : Apa yang Anda lakukan dalam festival itu?
JAWAB (J) : Saya diminta berbicara tentang CaBauKan karena mereka tertarik dengan latar belakang masa kolonial Belanda. Festival itu berkepentingan melihat sikap orang Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Saya kan tidak melihat Belanda hitam putih. Apalagi dalam Parijs Van Java yang lebih kuat setting Belandanya. Saya melihat sebagai manusia dan bukan sebagai bangsa. Cuma saya hanya diminta berbicara tentang Ca BauKan . Apalagi filmnya masuk sebagai satusatunya film Asia di Festival Film Cannes.

(T) : Selama ini dari mana Anda mendapatkan ide penulisan?
(J) : Begini, saya selalu melihat bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan.Dari situ saya kemudian tergerak untuk melakukan proses penulisan. Dengan begitu berarti saya punya kewajiban untuk memperoleh nafkah. Soalnya kemudian menulis kreatif atau menulis yang bukan kreatif, itu dulu. Kalau untuk penulisan kreatif saya selalu melihat peta apakah orang menulis bidang itu atau tidak.

Misalnya, melakukan riset terhadap data yang ada di masa silam tentang tamadun kita di masa lalu. Masalah itu menarik bagi saya karena banyak orang tidak mengenal sejarah masa silam. Bagaimana pertemuan bangsa kita dengan bangsa luar seperti Belanda, Inggris, Cina, dan lain lain. Cerita itu sangat menarik kalau direkakan ke masa silam seperti cerita Parijs van Java yang dimuat Koran Tempo .Selama ini kita melihat orang Belanda secara hitam putih, yakni penjajah. Kita jarang melihat ada di antara mereka yang memikirkan kemajuan Indonesia juga.

(T) : Bagaimana Anda melakukan riset untuk novel-novel Anda?
(J) : Tentu saya butuhkan riset tentang kondisi masa itu.Setiap akan menulis saya selalu mengumpulkan bahan. Nah, saat menulis kadang cerita berkembang karena ada data baru yang masuk. Data yang baru saya dapatkan biasanya saya selipkan dalam alur cerita.

Saya biasanya mendapat data dari buku tua atau catatan surat kabar dan arsip yang menarik. Atau kejadian-kejadian di masa silam. Asal kita rajin membuka buku tua, kita akan mendapatkan banyak data. Kebetulan saya orang yang rajin mengumpulkan buku tua. Biasanya saya cari di pasar tua Semarang, Beringharjo Yogyakar ta, Palasari Bandung, Pasar di belakang stadion Sriwedari Solo, dan lain-lain. Saya kenal hampir semua pedagang buku tua di tempat-tempat itu. Dari situ saya buat catatan penting yang menarik. Utamanya yang saya tidak tahu. Nah, dari situ saya ambil sepotong-sepotong untuk memperkuat alur cerita.

(T) : Apakah alur cerita sudah Anda siapkan?
(J) : Biasanya berkembang. Mula mula memang ada outline yang disiapkan seperti Parijs van Java itu. Tapi, ada unsur tidak senga ja yang masuk kemudian. Ini justru yang menarik dalam proses penulisan. Kalau temuan baru itu menarik, saya masukkan ke dalam bagian alur cerita. Namun, tidak jarang saya mengkhianati outline yang sudah dibuat karena unsur tiba tiba itu justru lebih menarik trend-nya. Kalau sudah begitu saya harus hapus sebagian out line untuk temuan baru tadi. Tapi, secara keseluruhan tetap harus ada yang namanya klimaks sebagai pertanggungjawaban tematik dari cerita itu. Jadi, begitu saya bicara outline, saya hanya bicara potongan potongan remisnya.

(T) : Bagaimana dengan Kerudung Merah Kirmizi, apakah melalui riset pustaka juga?
(J) : Kalau itu sepenuhnya tinggal imajinasi saja.Tapi, saya sudah mengenal betul setting yang saya tulis di Rawa Selang antara CiranjangCipeyeum. Saya kenal betul desa yang di dalam. Lalu tempat terpencil di Cikarawang dekat Dermaga dan satu tempat di Bali. Saya kuasai karena saya pernah di sana. Jadi ketika saya butuhkan, saya panggil ingatan-ingatan tentang daerah itu.

(T) : Anda datang ke daerah itu sengaja untuk membuat latar belakang novel atau tujuan lain?
(J) : Sekadar datang saja dan saya hapal saja beberapa hal menarik di daerah tersebut, dari nama sungai sampai bukit.

(T) : Bagaimana Anda memadukan imajinasi dan kenyataan?
(J) : Barangkali jawabannya adalah agar lebih hidup dan seakan-akan benar terjadi. Seperti juga dalam Ca Bau Kan di mana saya harus mengidentifikasi peran. Dalam peran yang saya tulis, saya harus membuat pembenaran terhadap peran tokoh itu. Setelah ada pembenaran, saya berharap pembaca juga memberikan pembenaran atas pembenaran dari tokoh yang saya tulis bahwa tokoh itu ada. Meski begitu tetap harus ada perasaan benar atau ‘feeling of truth’ dalam membentuk tokoh tadi.

(T) : Mana yang Anda dahulukan, membentuk karakter tokoh atau jalan cerita?
(J) : Tokoh sudah harus ada dengan karakternya. Seorang tokoh bisa saja pada awalnya keras, tapi kemudian lembut dalam jangka waktu tertentu. Salah satu kesulitannya memang bagaimana membuat gambaran tokoh itu menjadi plastis. Karena itu harus ada alasan psikologis yang jadi penyebab ter jadinya perubahan. Seperti dalam cerita ‘Sam Po Kong’ yang sedang saya tulis sekarang.

Tokoh Dang Swa disusupkan alam pelayaran Cheng Ho ke Jawa. Padahal ia disusupkan di situ sebagai musuh Sam Po Kong yang tugasnya menjelek-jelekkan. Tapi, dalam pelayaran sekian bulan, ia berubah. Nah, untuk menggambarkan perubahan sikap ini harus ada alasan psikologis dan fisikal yang terjadi. Misalnya, dari pertikaian an melihat ketokohan seseorang hingga dia jadi kuat.

(T) : Artinya kisah itu perjalanan nyata yang Anda kemas dalam bentuk novel?
(J) : Memang perjalanan nyata. Sekarang bagaimana menghidupkan cerita itu dalam wacana imajinasi. Cerita tentang Sam Po Kong, semua orang mungkin sudah tahu. Sejarah sudah mencatat. Babat Tanah Jawi menulis kisah berbeda dan beragam. Saya harus memutuskan mengambil satu sudut yang realistis saja. Saya tidak mau membuat tokoh Cina ini bisa terbang segala, ha..ha.. ha...Padahal dalam kisah Cina dan Babat Tanah Jawi ada kisah memotong siluman di Cirebon.Tapi, kisah itu saya tulis sebagai sihir agar realistis. Begitu juga pembaca bisa menyaring dan melihat seberapa jauh komitmen pengarangnya.

(T) : Berapa banyak referensi yang Anda gunakan untuk menulis Sam Po Kong ini?
(J) : Sekitar 30 buku referensi. Misalnya, bagaimana perilaku seks di kerajaan Cina dan kaisar yang bangsat. Itu akan menjadi hiasan dalam dialog. Dalam setiap dialog selalu saya sertakan tamadun (kebudayaan) Cina agar tokoh yang dikisahkan memang tokoh bersejarah. Mereka mengungkapkan realistas yang dekat. Sama dengan saat kita membicarakan Ken Arok yang kita kaitkan dengan realitas terdekat.

(T) : Kenapa Anda banyak menulis cerita dengan latar belakang sejarah?
(J) : Seperti saya katakan,saya memilih tema yang tidak dikerjakan orang lain.Terutama latar belakang zaman Belanda yang sangat menarik buat saya.Bayangkan 350 tahun mereka di Indonesia. Akulturasi kita demikian panjang dengan mereka.

(T) : Sejak awal menulis Anda sudah memilih posisi itu?
(J) : Benar, sejak usia 17 tahun saya sudah memilih cerita berla tar-belakang sejarah lewat cerita Inani Keke dan Trapar Batala. Latar belakang kisah itu adalah abad ke15 antara Filipina dan Minahasa di masa Magelhaens terdampar di pulau Saebu. Lalu dia dipenjara di sana dan orang-orang Spanyol melari kan diri ke selatan sampai ditangkap orang Portugis di Tidore dan Ternate. Lalu mereka lari ke Minahasa atas bantuan Raja Bolaang Bongondo.Itu latar belakang novel-novel pertama saya dalam usia belasan tahun.

(T) : Apa yang membuat Anda tertarik pada tema sejarah sampai hari ini?
(J) : Adanya akulturasi yang menyangkut bahasa. Bukan main banyaknya kosakata Indonesia yang diambil dari bahasa asing, terutama di Sulawesi Utara. Sebagian bahasa Portugis sudah menjadi bahasa orang Manado sampai hari ini.Itu yang mem buat saya tertarik.

(T) : Bagaimana dengan proses penulisan non kreatif?
(J) : Sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya tema-nya saja tidak sama.Tiga hari lalu saya ceramah tentang inkulturasi. Untuk itu saya harus pakai data dan gunakan bahasa plakat, bahasa pengumuman, bahasa deklarasi. Artinya bahasa yang agak kaku, ha..ha..ha...

(T) : Mana yang lebih menarik antara penulisan kreatif dan bukan kreatif?
(J) : Sama saja.Tinggal bagaimana kita memilih materi saja. Saya membahas tema inkulturasi karena saya harus berbicara di depan sidang gerejawi. Tema yang saya ambil itu topik yang lenyap dalam jejak-jejak gerejawi saat ini, yakni asas ‘in kulturasi’. Ini yang saya kritik bahwa gereja di Indonesia menjadi sangat Amerika. Pada hal dasar pewartaan Injil itu adalah inkulturasi.

(T) : Selain soal tema besar tadi, apa lagi yang Anda angkat?
(J) : Begini, kepentingan manusia itu sama, yakni menangis dan tertawa. Itu bahasa universal. Tapi, itu harus dilihat dengan jujur, hati terbuka, lembut,dan hati tidak dendam bahwa akulturasi kita sebagai tiang budaya nasional berangkat dari banyak sumber. Sumber Cina, India, Arab. Lalu berpikir kritis dan rasional baru tentang perlintasan orang Barat yang ke sini.

Saya ingin melihat ada sumbangan dari hitam putih Belanda sebagai penjajah, yaitu pengajaran bahasa Indonesia dalam lembaga pendidikan kita. Ingat, itu Belanda yang mengatur. Yang memutuskan ‘lingua franca’ bahasa Indonesia menjadi bahasa administratif adalah Belanda. Ini yang saya angkat le wat cerita. Kalau lewat bahasa plakat mungkin kaku dan mengundang perdebatan, ha..ha..ha...Mungkin dengan begini jadi lebih masuk.

Kondisi Indonesia sekarang seperti Cina tahun 1930-an.Sakit orang Indonesia yang harus menyembuhkan adalah kesadaran membaca. Padahal membaca membedakan manusia dengan binatang. Jadi bukan sandang, pangan, dan papan.

(T) : Pendapat Anda ihwal ke hadiran penulis muda yang banyak bermunculan belakangan ini?
(J) : Tentu ini harus disambut gembira.Kalau ada pemikir muda harus dilihat sebagai pemikiran baru yang tidak ada se belumnya. Orang seperti Ayu, Dewi Lestari, sampai Djenar, menurut saya sangat luar biasa. Mereka itu ibarat bom yang tiba-tiba berada bersama-sama dengan lelaki.Bahkan berada di atas laki-laki. Mereka mele nyapkan kesan bahwa penulis perempuan hanya berbicara air mata dan nangis melulu seperti novel 1970an dan setelahnya.

(T) : Apa yang membedakan mereka dan perempuan penulis di masa lalu?
(J) : Sekarang kita punya kebiasaan penulis muda ini adalah anak-anak terpelajar. Coba bayangkan tahun 1970-an, yang namanya wartawan tidak harus sarjana. Asal bisa nulis meski agak ngawur-an, rajin pasti diterima.Sekarang kita melihat lebih terang pada mereka karena pendidikan tadi. Paling tidak mereka memenuhi strata tertentu dan punya penyataan sendiri ketika mereka menulis sesuatu.

(T) : Apakah trend yang mereka bawa benar-benar baru?
(J) : Apapun trend yang mereka cetuskan, saya yakin itu sesuai dengan sikap batin mereka.Sikap batin ini bisa mewujud se demikian rupa karena alat kerja mereka yang berbeda.

Dengan begitu otomatis lahir karya yang berbeda dan visi yang berbeda. Kita lihat dulu,setelah Chairil Anwar, orang selalu mengikuti pola Chairil Anwar. Baru berubah 1970-an dengan gerakan puisi mbeling .Artinya ada keberanian setelah itu. Sebelum itu semua seragam dan berkiblat pada Chairil. Kalau tidak ikut Chairil sepertinya tidak sah disebut penyair. Buat saya tidak ada alasan untuk tidak memuji penulis-penulis muda tadi.

(T) : Beberapa waktu lalu Anda mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award...?
(J) : Penghargaan itu yang pertama saya terima dari dalam negeri.Kalau dari luar negeri sudah beberapa kali, antara lain dari Jerman saya dapatkan medali Man of Achievement karena saya menulis Ensiklopedia Musik seorang diri. Katanya unik karena ensiklopedi biasanya ditulis tim.

(T) : Pernahkah Anda merasa jenuh atau buntu selama menulis?
(J) : Tidak sama sekali.Kalau saya jenuh, saya main musik sendiri atau melukis. Itu kebetulan bagian dari bakat saya.

(T) : Apakah Anda tergantung juga pada mood ?
(J) : Tidak juga, karena saya me nilai menulis adalah pekerjaan yang bersifat wajib. Maka, saya harus melaksanakannya. Tapi saya menulis bukan karena terpaksa, melainkan karena suka. Begitu saya suka, saya tidak merasa tersiksa.

(T) : Selain novel, apalagi yang Anda tulis saat ini?
(J) : Saya kan harus ceramah tentang teologi. Yang saya kembangkan betul sekarang adalah teologi kontekstual seperti inkulturasi. Kedua, tentang teologi apologetik yang jadi studi saya selama ini.

(T) : Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk satu karya tulis?
(J) : Tidak tentu karena penggarapannya biasanya bersambung.Seperti “Parisj Van Java” saya kerjakan sepanjang tahun ini.Sehari biasanya saya butuh waktu tiga jam.Untuk “Sam Po Kong” ini juga tidak tentu.

posted by wahyu.dhyatmika 11:37 AM

berita bermasalah itu.............
posted by wahyu.dhyatmika 10:54 AM

Aceh villagers say troops shot seven civilians including boy aged 12
by Ian Timberlake

MATAMAPLAM, Indonesia, Sept 22 (AFP) - Indonesian troops who descended on this North Aceh village shot dead seven young men including a boy aged 12, villagers said Thursday.

Anizar, 29, said her 18-year-old brother Khairurazzy Ismail was one of the dead. The victims were sleeping in the ricefields to protect the crops when soldiers arrived at 5.30 am on Wednesday, residents said.

"We found him (Khairurazzy) dead in the paddy field," Anizar said. "He was hit in the head ... all his brains came out."

She said her brother had also been shot in the shoulders and stabbed in the thigh. Troops on Monday launched a major offensive to crush the separatist Free Aceh Movement (GAM).

A weeping Anizar said her brother, who was mentally unstable, had no links to GAM. "My brother was sick and what would he want to do with a gun?"

She said she had no idea whether rebels were operating in the area. "We don't know where GAM is. We're ordinary people."

Anizar said the military described the victims as "dead rats in the field." Residents said they were asleep at the time but were woken by the shooting. They said a survivor who fled the attack had told them the victims were made to stand in a line and were then shot.


One villager who refused to be named said soldiers had hit him on the forearm and the back of the head with a chunk of wood. His head was bandaged and there was a chunk of hair missing.

Matamaplam is part of a cluster of small villages in Peusangan district, close to the town of Bireuen in North Aceh.

In Cot Batee village in the same area, residents said eight people were killed by troops on Wednesday.

An AFP correspondent who visited Cot Batee saw six of the bodies. Two had been shot through the eye. One of the villagers denied the victims were GAM members.

Military spokesman Lieutenant Colonel Yani Basuki said 10 people from four villages in the area had been shot, including a 13-year-old.

But he said they were GAM members and were shot during a clash which began with an explosion at a bridge.

"Some people say they were in the paddy when they were shot," Basuki said. "No, it was while we were chasing them to the paddy."

Indonesian troops have been accused of gross rights violations in previous campaigns in Aceh and elsewhere. They have promised to try to minimise civilian casualties this time.

it/sm/bjn


posted by wahyu.dhyatmika 10:54 AM




blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis