TagBoard 
nama

URL or Email

pesan(smilies)



arsip


Tuesday, November 19, 2002
Pagi-pagi sekali saya terbangun. Sebelum sempat melakukan apapun, mata saya melirik ke samping, ke atas meja kerja saya. Nampak sebuah lampu merah kecil berkedip-kedip di laptop saya. Saya membuka monitor dan menemukan sebuah e-mail baru saja masuk ke alamat cyberspace saya.

Saya lalu mengklik icon ‘inbox’ dan menemukan sebuah surat dari rubrikpsikologi@mediakonsultasi.net
“Aha ini dia jawabannya,” pikir saya dan mulai membaca.

***

Bung NY yang baik,

Ibu berempati pada masalah rumah tangga anda. Memang sulit membayangkan bagaimana seseorang bisa hidup sampai lima tahun dengan pasangan yang sangat pendiam, pasif (bahkan dalam bercinta) dan selalu menyimpan perasaan bersalah yang tak jelas juntrungannya.

Tapi, Bung NY, ada beberapa detail yang membuat Ibu agak sulit memberi advis yang tepat untuk anda dan istri. Misalnya deskripsi anda soal pasangan hidup anda. Pertama-tama, Anda menyebutnya sebagai ‘penyendiri’ dan seorang yang selalu ‘pesimis’. Bahkan, dengan kalimat yang Ibu yakin anda lebih-lebihkan, anda menyebut “Di matanya, saya hanyalah seonggok daging hidup yang jadi teman hidupnya.”

Padahal di bagian akhir surat, Anda bercerita soal bagaimana istri anda memasakkan sayur lodeh makanan favorit anda dan begitu pengertian untuk mencarikan masakan lain yang lebih lezat ketika anda mengkritik masakannya. Ia juga sempat-sempatnya membelikan martabak telor kesukaan anda, meski anda tidak mengantarnya ke dokter ketika ia sakit. Orang yang hanya dianggap sebagai “seonggok daging hidup” tentu tak akan mendapat perlakuan istimewa seperti itu.
Di mata Ibu, istri anda justru seorang perempuan yang sangat mandiri dan pengertian pada sifat kekanakan yang ada pada anda sebagai suaminya.

Anda memang tidak menjelaskan berapa lama anda pacaran, tapi kalau anda sampai tiga kali melamarnya, jelas anda jatuh hati habis-habisan padanya. Bolehkah Ibu tahu ‘kelebihan’ apa yang Bung NY lihat pertama kali pada kekasih anda, sehingga begitu tergila-gila pada perempuan itu? Anda sama sekali tidak menyinggungnya.

Anda hanya mengaku “Maaf, saya tak bisa memberi alasan lebih dari itu untuk menjelaskan kenapa saya mengawininya, hidup berdua dengannya. Saya cinta dia titik.” Alasan yang absurd. Tapi kemudian anda menjelaskan bahwa anda mengawini pacar anda itu karena “ia berjanji akan mengubah sifat merasa bersalah itu.” Mana yang harus Ibu percaya?
Agak mengherankan juga kalau Bung NY mengaku tidak tahu latar belakang keluarga dan kehidupan masa kecil istri anda. Padahal anda sudah lima tahun menjalin rumah tangga. Anda hanya menyebut selintas soal istri anda yang “tidak pernah jadi anak-anak" dan akhirnya "dipaksa berpikir dewasa".

Pengalaman Ibu puluhan tahun menjadi psikiater, memang membuktikan bahwa mereka yang tumbuh dari keluarga yang menanamkan disiplin secara kaku dan keras, akhirnya sering mengaku kehilangan masa kecil. Namun, tak sedikit yang akhirnya terkonpensasi dengan kesuksesan di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, karena memiliki sifat mandiri dan keuletan tahan banting. Seperti itukah kira-kira masa kecil istri anda?

Ibu tidak tahu faktor apa yang mempengaruhi masa kecil perempuan pasangan anda itu sehingga dari “dipaksa berpikir dewasa”, dia tumbuh menjadi “penyendiri, pesimis dan selalu merasa bagai pendosa”. Ada ‘missing link’ yang tak begitu Ibu pahami di situ.
Anda juga mengaku tidak jengkel dengan kelakuan istri anda. Anda bahkan mengaku sebenarnya “tidak peduli tapi hanya ingin menolong derita yang dirasakan istri saya.”

Lalu untuk apa Bung NY repot-repot mencari dukun? Mencipratkan air bermantra setiap malam? Untuk apa pula Bung NY repot-repot menyusun skenario perselingkuhan? Apakah untuk membuat istri anda cemburu? Bukankah Bung NY “tidak peduli” dan hanya mempertahankan perkawinan karena “malas cari istri lagi”?

Soal anak lebih membingungkan Ibu. Awalnya, anda mengaku istri anda “tidak mau terbebani oleh anak-anak yang tidak kita harapkan." Tapi, ketika dia menceritakan dirinya hamil, Bung NY mendeskripsikan wajah istri anda yang “sumringah”. Maaf ya Bung NY, ‘sumringah’ itu dalam bahasa jawa, artinya terkejut tapi senang atau berbahagia. Tapi ketika keguguran, kesedihan istri anda bahkan melebihi kesedihan anda. Anda menulis “Saya sedih, istri saya lebih-lebih. Sedih karena kami gagal punya bayi.” Katanya, tidak mau punya bayi, tapi kok sedih?

Pendek kata Bung NY, kali ini, Ibu nampaknya harus menyerah. Sepanjang Ibu mengasuh rubrik konsultasi psikologi di majalah ini, baru kali ini Ibu menerima surat seperti surat Bung NY. Kalau anda memang merasa masalah ini begitu beratnya, silakan datang ke tempat praktek Ibu di Blok A, bagian Jiwa RS. Saint Corulus, Jakarta Pusat. Ibu akan senang sekali menerima anda bersama istri.

Wasalam,

Ibu Fatmawati

***

Saya menghela nafas setelah membaca e-mail itu. “Cerdik juga ibu tua ini!” batin saya. Saya mulai mengirim surat jawaban ke alamat elektronik rubrik psikologi itu. Isinya singkat, “Terima kasih atas jawaban Ibu. Tapi tidak cukup memuaskan saya. Saya tahu alamat Ibu, keluarga Ibu dan jadwal Ibu setiap hari. Berhati-hatilah!”

Saya tersenyum puas. Sambil beranjak dari meja kerja, saya melirik tempat tidur. Di sana; istri saya terbaring kaku setelah saya cekik mati dua bulan lalu.

Velbak, 20 Nopember



posted by wahyu.dhyatmika 6:53 AM




blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis