EPISODE (seperti sebuah surat yang kuterima suatu senja)
I
seorang dara duduk pada jendela
memandang, menghirup, menyesap udara yang menebal pada cuaca
menunggu sebuah rindu datang lagi
senja membawanya di sini
Lalu sunyi
Lagi sepi
kemanakah angin itu mengalir?
di manakah suara-suara itu bertitir?
hujan malah tertawa
melebar sayap menutup senja
padahal,
amatlah kutunggu datangnya ia
mengobarkan lagi rindu-rindu dari sana
"Buatku!" katanya cuma satu: Untukku!
ia menggeser pandang ke Utara
kalaulah telat tibanya
tentu ada pelangi di sana
rindu kuning
rindu biru
rindu merah
tapi mustahil
ia hanya berkirim rindu sederhana
rindu bersahaja
juga rindu apa adanya
mestikah kuterima?
ah, membikinku bingung saja
wahai orang harap
adakah di tamanmu padang bunga?
tentu, jawabnya
ah, kau mengada-ada
mungkin
kutahu kaujarang berkaca
tidak juga
pula kau mula-mula lugu
pula kau mula-mula malu
pura-pura merentang sayap kupu-kupu
pura-pura purimu rupa-rupa
kutahu sebenarnya engkau buta
II
hendak kutulis namanya, alamatnya
tetap saja kutak bisa mengeja
kucari ia dalam kata
bab dan halaman
tetap tak ada dalam catetan
hilang semenjak engkau datang
kututup jua ketika kau pulang
sudah saja kita berdiri sejalan
masing-masing punya tujuan, bukan?
meski kau--katamu--telah siapkan:
tinta, pena, bunga dan ruang
berikan saja semua pada lain taman
kutak butuh rayu-rayuan
bila kaumaukukau bagi-bagi
bisa saja kaukuterima tapi
tak sepenuh hati separo janji
ayo, rentangkan jejak pada masa silam
kucumbu kau dengan bayang-bayang
biar mampus saja dikoyak kesunyian
mestinya kita bercermin pada tapak
bukan pada janji yang nanti
membentang untuk kita ingkari
III
dulu
aku pernah sangat ingin benar padamu
membagi karangan, buku, dunia segala
sayangnya
halaman rumah kita basah oleh hujan mendera
maka kukabarkan engkau: kita pernah duduk di sana
meski tak sampai jadi bangku dan taman, jadi laut dan camar
sekarang tak
sarapanku cuma sekepul asap, secarik kertas + setetes tinta
aku orangnya bisa tahan sehari tak makan
kupikir aku telah sampai pada hingga
maka tak sempat kusenandungkan sebuah lagu
meski dulu
aku sangat ingin benar padamu
IV
lagi,
datang suara mendengung di telinga
kita bercakap tak bermuka-muka
lantas tawa, canda merayap lewat udara
buat apa kita memutar angka, jika
lalu kita sama saling sangka?
saling bertopang berpaling-paling menerka
berkaca pada bejana
berharap muka kita di situ ada
guna apa kita bertukar kabar, jika lantas
kita mencari kata untuk memaki
menghapus tawa, canda yang kita lepas
membuat kita diam--bicara sendiri--dalam hati
untuk apa kalau
kau dan aku saling ragu?
pada tali warna yang menyilang masa lalu
hanya memperpanjang waktu
agar sajak kita punya terus berlagu
jadi
kosongkan gelas lantas isi
siramkan ke sekujur rambut hingga kaki
sesapkan di pori, urat dan nadi
Engkau kusebut dunia masih
pada pintu yang kuketuk : selamat pagi
bis makin laju saja
antara simpang cijulang-Pangandaran
embun yang menggumpal di jendela
tak lagi cukup membawa berita:
hari sudah petang
dalam senyap, ketika itu, kita bercakap
"Aku sudah menghabiskan 21 batang hari ini," dan kau
kini mengunyah satu batang lalu menyulutnya
asbak, dari bungkusnya itu, telah penuh
dengan sekar ketakutan, air mata dan senyuman
kau siap membungkusnya dengan kain putih
dengan pita merah kau melilitnya jadi pesan
"Taruhlah di bawah pohon akasia--bukan kemboja," tempat
main masa kanak dulu
pada jam 0, tepat tengah malam
bulan merayap dalam awan
mengabar hujan: kita terus bercakap
tentang turis-turis. "Kita hinggap dari trapis ke trapis."
memasang tenda, memotret dan melukis
tentang siluet dan keheningan
tentang malam dan bulan
tentang laut dan camar
tentang perenang
tertulis dalam catetan harian
ketakutanku
malam yang asing jatuh di bemper depan
meninggalkan sejumput kabut yang memekat
Sumedang, Bandung, Sukabumi makin dekat saja
kita tak pernah bisa paham
"Seperti singgah minum di warung kopi"
Sepasang gagak yang mengepak
tak lagi bertengger di dahan
semuanya pulang
tinggal sepi ini saja yang tersisa
juga aku:
tangan yang terus menulis
pada catetan harian
kesunyianku
1999
sebab tak
sebab tak dapat kuungkapkan
kata yang paling rindu
kubiarkan diri dipeluk jemu
sebab tak sempat kuyakinkan
puisi yang paling syahdu
kupalingkan muka yang pilu
sebab tak bisa kutahankan
suara yang bisu
kugenggam rindu kelabu
1997
papandayan
pada karang yang terjal itu
seperti ada gagak yang mengepak
heran aku pada dingin yang menubruk di bahu
gemuruh angin lembah mengabar dirinya yang mengelak
1999
sepajang sajak
sepanjang apa yang kau dapat
dari merdu tabuhan sajak
sia sia mencari dalam kata
tuhan tak di sana
2000
solitude
jika ombak itu ialah cinta
sungguh ia tak sempat-sempat berkata
gemuruhku duka
blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis