arsip ![]() |
Friday, July 05, 2002
perhatian perhatian, berhubung anggota blog ini tidak cuma anak tempo, jadi harap jangan terlalu Tempo sentris. Untuk Wahyu M. Siapa bilang masyarakat belum siap berpikir lebih maju. Tahun 1960 banyak orang belum melek huruf. Sekarang? Penghinaan jika disebut belum siap. Ini seperti Megawati yang bilang masyarakat belum siap pemilihan presiden langsung. Ini penghinaan! Sebetulnya, Megawati-nya kan yang belum siap, bukan rakyat. Jangan sembarang menuduh rakyat. Jika itu hanya dilihat dari banyaknya orang yang baca koran ecek-ecek, menurut saya, itu karena segmen PASAR (lagi-lagi ngomongin ini). Saya, misalnya, akan antusias jika membaca tulisan yang menyangkut jurnalisme, Camus, Milan Kundera, Ignazio Silonze, dll. oooh soal keberpihakan media dan industri media toh.... akhirnya bisa masuk juga...... Nggor, kau nyeting jam masih blm klop. POstingku hari ini udah gak bisa dibaca gara-gara dianggap kemarin. Gak efektif juga arsip disimpen di tanggal. Blogger, tahu sendiri, lama terbuka jika refresh atau klik suatu link. Begitu boossss komet datang lagi!
Thursday, July 04, 2002
sama bos!! Nggor, bikin paragraf gimana? sama dengan di otokritik? Agenda setting juga tak bisa dihilangkan dari bisnis media. Itu juga niscaya. Saya ingat pernyataan OC Kaligis di Polda beberapa waktu lalu. Setelah dia panjang lebar omong soal suap Elaza Syarief, dan wartawan terus mendesak memojokan pengacara Tommy yang bermoral bejat itu, Kaligis bilang. "Ya silahkan, Anda punya hak menentukan lead." Ini pernyataan dari orang tua. Tapi menurut saya itu benar. Agenda setting yang paling kecil adalah menentukan lead. Itu fakta, memang. Tapi pilihan itu sendiri, sudah berbentuk opini yang paling kecil tingkatannya. Tapi kita tak bisa menghindarinya. Ada banyak hal-hal yang tak bisa dihindari wartawan yang ingin bersikap netral. Ini pikiran khas wartawan Indonesia. Di luar negeri pikiran semacam itu mungkin sudah kuno. Toh, sekali lagi, itu tak bisa dihindarkan. Tapi, Bung Komang, idealisme macam apa yang bertengkar tapi bergandeng tangan dengan pasar? Maka pernyataan Anda juga benar bahwa di mana idealisme yang bermain dengan opini publik itu? Saya kira ini tak bisa diperdebatkan lagi. Makanya saya bilang ini bisnis. Teman chating saya, yang kerja di Manulife, lebih suka baca Kompas soal pailit perusahaannya. Karena, katanya, Kompas memihak Manulife. TEMPO? "Gak ada mihak-mihaknya. Tapi akurat, bow. menyajikan fakta." Saya kira, menyajikan fakta, dalam jurnalisme, itu yang penting. Ini, Bung Komang--saya kira--jalan agar jurnalisme tak melacurkan diri. bulan ini ada hari anak sedunia. dalam logika jurnalisme yang baik, apa kira-kira yang perlu direfleksikan media ? setiap hari kita lihat anak-anak bekerja di jalanan, dengan tingkat mortalitas tinggi. dan di tv, dipajang pulapenyanyi cilik bertebaran. anak-anak yang seakan menjadi boneka orang tua, dan kehilangan identitas. bicara pasar dan tetek bengeknya tidak ada habisnya. mungkin sekedar mengiringi pertanyaan Komang, ada artikel dari kaum Sebuah pertanyaan yang mengganggu; apakah BBC juga pernah takluk pada PASAR dan KAPITAL? Juga 'Pantau'? Keduanya diakui sebagai media idealis yang berhasil mengikuti selera pasar tanpa harus melacurkan diri. Betulkah mereka idealis? Pertanyaannya kemudian; bukankah PASAR selain identik dengan ‘menuruti keinginan khalayak ramai’ juga setali tiga uang dengan KAPITAL. Mustahil mengharapkan sebuah Pasar yang steril dari Kapital. Agenda Setting yang disebut-sebut Anggoro itu juga berselingkuh dengan Kapital, bukan? Lalu dimana idealisme pers bisa ‘bermain’ di lapangan yang penuh dengan intrik mengarahkan opini publik, menyebar isu, menjerat pembaca dengan informasi kacangan yang laris manis itu? Dengan cara apa?
Penyakit orde baru mau ngatur-ngatur, kumat lagi. (Bukankah Mr. Bags yang pertama kali mengeluh karena Koran TEMPO tidak bisa memuat feature?) Jadi, sudahlah, mengalir saja. Mau ngomong jurnalisme yang bodoh, menjijikkan atau jenius, silakan saja. Jangan dibatasilah…. Untuk Komet, seperti kawan kita yang satu ini hapal betul artikel-artikel yang jadi bahan kuliah Sabtu itu. Sepertinya juga Anda harus sedikit mengeluarkan tenaga untuk naik ke lantai tiga menemui Pak Nurlis mengambil naskah yang saudara maksud itu, tidak hanya menagih di otokritik saja. Setelah itu perlihatkan pada kita, dan saya orang pertama yang akan memfotokopinya. Asal jangan yang ditunjukan tempohari itu. Saya sudah punya kalo tulisan Goenawan Mohamad. Bahkan wartawan kita dari Surabaya yang tangguh itu sudah memfotokopinya juga. Cepat, Met Sudahlah, idealisme dan pasar saudara tiri yang tak gampang disatukan. Ini bisnis, Bung. Saya ikut milis jurnalisme sastra. Tapi melulu ngomongin soal keanggotaan. Andreas Harsono jarang nulis lagi. Padahal di awal-awal cukup rame. Artikel di New York Time itu dikirim oleh Janet Steele, dosen dan peneliti media dari Amrik sana. Lumayan, cukup membukakan pemikiran pada jurnalisme. Saya kira blogger ini harus menjadi media alternatif ngomongin jurnalisme yang berbobot. Meski tak dipungkiri juga omong jorok dan sekenanya masih diperbolehkan. Karena satu itu penyakit gen bawaan. Tak sekedar otokritik yang isinya cuma keluhan dan keluhan. Mari bicara jurnalisme yang cerdas.
Wednesday, July 03, 2002
Istilah koran kita dan koran TEMPO memang berbeda artinya. Saya lupa saya juga tidak punya saham di Yayasan Karyawan TEMPO. heheheheh…….. Katanya kalau mau sih bisa, tapi harus membayar sekitar Rp 7 miliar atau berapa gitu… tambahan komentar: aku tak punya saham di bursa efek, jadi aku tak menganggap Koran Tempo sebagai koran kita ada tambahan referensi tentang filosofi jurnalisme liberal memang, apa yang dihaturkan Komang benar adanya, tak dikotomis. namun sekiranya kapitalisme media seakan menjadi keniscayaan. walau ada pula yang menggelinjang dan meneriakinya. salah satunya ucapan Robert W. Tracinski, mantan ketua The Center for the Moral Defense of Capitalism, berikut ini : Tidak selalu begitu. Ruang untuk berita feature (istilah lain literary journalism) masih ada di koran kita. Menyitir Farid Gaban, semua rubrik di Koran TEMPO sebenarnya bisa dibuat feature. Tapi, memang ada kesenjangan antara apa yang dicita-citakan Mr. Gaban dengan apa yang dilakukan para redaktur di lantai tiga. Well, realitasnya memang begitu, mau apa lagi? Tapi –membantah Anggoro-- PASAR dan IDEALISME (dengan huruf sama-sama kapital) tidak selalu harus dipandang sebagai dikotomi. Banyak media yang mencoba idealis, dan hidup (Meski memang banyak juga yang mati hehehehe….). ‘Pantau’ misalnya. Atau kalau contoh di luar negeri, BBC. Oke, mereka dibiayai negara (dan funding asing untuk Pantau), tapi mereka punya audiens. Banyak bule yang protes ketika subsidi BBC mau dicabut. Menurut saya, mengikuti PASAR tidak selalu harus diterjemahkan sebagai melacurkan IDEALISME. Makna PASAR pada intinya adalah PUBLIK (Tidak tepat begitu memang, tapi mendekatilah). Bukankah menyediakan informasi seperti apa yang diinginkan publik, adalah cita-cita luhur jurnalisme? okeh babak Bagjah, sudah saya ganti nih, yang kemarin itu waktu GMT bos!! Tapi ngomong-ngomong soal jurnalisme sastra, yang bukunya baru terbit ditulis oleh seorang dosen dari Bandung, pembaca di Indonesia akan ngeh enggak ya? Koran TEMPO, setelah dikurangi jumlah halaman dan diperkecil kolomnya, justru mengutamakan berita cepat. Berita yang cukup dengan lead. Bahkan di satu iklannya yang dimuat di Majalah TEMPO, orang Indonesia sekarang butuh berita cepat, katanya. Jelas jurnalisme sastra tidak mendapat tempat di koran seperti ini. Bagaimana saudara melihat PANTAU sebagai majalah dengan teknik jurnalisme sastra? Saya baca kok tersendat-sendat, ya? Penyusunan dialog dan deskripsi kurang begitu afdol seperti kita membaca sebuah cerpen atau novel, misalnya. Salam Nggor, ini jamnya bisa dicreate gak? Ngaco tuh. Masa gua nulis jam 20.20 WIB dibilang jam 5 subuh? berapa kali kamu ulang tahun : 23 pesta ? percuma, aku gak bisa datang....:)
Tuesday, July 02, 2002
Tentang Children of Heaven Perkenalkan, saya bukan manusia biasa yang mo ikut urun rembug. wooi ini juliete binoche Selamat Sore !!! berbicara tentang film memang menarik. Tapi yang aku tahu, film Iran memang memang mirip dengan Italia, sama-sama bergenre -Neo Realis. Film Italia dan Iran ini, kemudian diambil konsepnya oleh Garin dalam membentuk SET. Tapi sayangnya, gebrakannya belum ada.
Monday, July 01, 2002
wah ini kayanya karena dari sono-nya. cobaliat blog lain, gak keliatan yg nulis kan ? anggoro, kenapa tulisan pengirimnya tidak muncul. gak tahu, nih siapa yang nulis. settingnya atau warnanya terserah. kamu yang moderator. pokoknya gimana caranya biar namanya kelihatan. setuju, gak yang lain? Met, wis Met! Aku wis kenalan karo Pappilon! Saya baru diperintahkan Komet untuk memperkenalkan diri pada Pappilon. "Hi Pappilon! Saya Komang" Anggoro ini memang suka sok eksentrik. Mulai persoalan ngising saja yang dipaksakan esthetis hanya karena mlototi wajah Dian Sastro. "Selamat Datang di Dunia Pikiran" kata Anggoro mengingatkan pada ucapan tokoh Zeus pada Neo dalam The Matrix. Let's talk about film. Film terbaik yang saya tonton belakangan ini ada dua; Malena dan Children of Heaven. Keduanya bukan film mainstream yang memang didominasi produk Amerika. Saya paling terkesan pada ide ceritanya, yang kadang sangat sederhana, tapi menggelitik, lucu namun menyentak, menggugah kesadaran. Hal-hal sehari-hari di sekeliling kita ternyata menyimpan makna yang lebih, kalau mau direnungkan lebih dalam. Ada banyak peristiwa yang berseliweran di sekeliling kita, timbul tenggelam kalau kita tidak memperhatikan. Ada yang punya banyak cerita di belakangnya, kalau kita mau membuka mata dan telinga. Tapi, kita lebih sering sibuk dengan urusan kita sendiri. Lupa menengok sekeliling. Lupa hidup punya makna lebih dari sekadar bangun pagi, ke kantor, makan, tidur, ngising. Walau yang esthetis sekalipun..... John Wilbye
Sunday, June 30, 2002
selamat datang saudara Pappilon di dunia pikiran. gimana proyek kita ? lho ini apa? ruang kendali mutu tempo grup ya? hueheheh komet kamu tidak hanya sering kehilangan berita tapi juga kehilangan gairah malam. Nggor, bikin link di blogger itu pegimane caranye? Trus kalau mau ngisi poto-poto gimana? Sori deh kalian belum kuijinkan mengunjungi http://olenka.blogspot.com. Masih 'under construction'........ Komet, aku pikir kau belum kehilangan momen itu. Kalau memang mau dibuat feature, masih bisa kok. Ditelusuri lagi aja, ceritanya. Awal penipuan itu bagaimana bla bla bla, terus kamu bisa mblusuk mblusuk ke perumahan tentara, melihat bagaimana miskinnya hidup mereka dan sebagainya bla bla bla. Trus tanya komandannya, kok boleh tentara demo seperti itu? Niru mahasiswa ya? Pingin ditembak juga ya? heheheheheheh.....Kemarin, aku mblusuk ke KR, lokalisasi tersamar di pasar rumput, Manggarai. Backingnya ternyata PM yang kantornya 200 meter dari lokalisasi itu. "Cari sampingan," katanya sambil menenggak bir hitam. Hebat kan tentara kita? Hidup tentara!!!!! |
![]()
blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis
|