TagBoard 
nama

URL or Email

pesan(smilies)



arsip


Friday, July 05, 2002
perhatian perhatian, berhubung anggota blog ini tidak cuma anak tempo, jadi harap jangan terlalu Tempo sentris.
posted by ang 8:33 PM

Untuk Wahyu M. Siapa bilang masyarakat belum siap berpikir lebih maju. Tahun 1960 banyak orang belum melek huruf. Sekarang? Penghinaan jika disebut belum siap. Ini seperti Megawati yang bilang masyarakat belum siap pemilihan presiden langsung. Ini penghinaan! Sebetulnya, Megawati-nya kan yang belum siap, bukan rakyat. Jangan sembarang menuduh rakyat. Jika itu hanya dilihat dari banyaknya orang yang baca koran ecek-ecek, menurut saya, itu karena segmen PASAR (lagi-lagi ngomongin ini). Saya, misalnya, akan antusias jika membaca tulisan yang menyangkut jurnalisme, Camus, Milan Kundera, Ignazio Silonze, dll.

Pembaca, pertama-tama, akan membaca berita yang dekat dengan kehidupan sehari-harinya. Coba kita hitung-hitung berapa persen orang Indonesia yang masih hidup di bawah garis miskin? Jadi wajar saja, mereka membaca Pos Kota, Rakyat Merdeka, yang bahasanya mudah dimengerti, ceritanya ada di lingkungan mereka, bukan analisis yang tak masuk ke pikiran tukang becak atau penarik bajaj. Siapa yang salah? Bukan rakyat, kan?

Makanya, kelas Sabtu Farid Gaban itu bilang bahwa memasukan kata regulasi sangat tidak baik dalam tulisan. Tapi memberikan contoh dengan sesuatu yang dekat keseharian akan membuat orang tertarik membacanya: apapun golongan ekonomi mereka. Tapi, Rakyat Merdeka yang memlintir habis-habisan gak bagus juga buat pendidikan. Pendidikan? Wah, ini hal yang lebih rumit lagi. Kita tak pernah dibiasakan membaca sejak kecil. Itu sebabnya, jurnalisme kita masih tersendat-sendat. Minggu besok, Nirwan Dewanto menulis di koran dengan sangat bagus. Penulis yang baik, katanya, bisa diukur dari surat pribadinya kepada seseorang.

Seharusnya, kita sudah meninggalkan perdebatan soal netral atau tidaknya sebuah media. Itu sebuah keniscayaan. Film The Insider yang baru saya tonton bareng Anggoro itu menceritakan bagaimana media berpihak pada kebenaran. Apa ini tidak dibilang berpihak? Memilih lead, seperti saya tulis sebelumnya, juga menunjukan keberpihakan si wartawan. Kita tak akan bisa lari.

Salam
posted by mr 6:29 AM


oooh soal keberpihakan media dan industri media toh....

Gue waktu itu pernah bertanya ke salah seorang petinggi Tempo saat masih orientasi. Gue nggak usah sebutinlah namanya. Dia menjelaskannya berputar-putar tentang itu. Tapi kesimpulannya dia mengakui bahwa pers saat ini sudah bicara INDUSTRI. Jadi mau bilang apa lagi????

Pertama soal industri pers otomatis berhitung soal bisnis. Sekarang siapa yang tidak bicara soal jurnalisme sebagai barang dagangan. Bos Johan aja bilang, berita lo bisa dijual, nggak? Itu untuk menyuapi para buruhnya (ingat wartawan itu buruh bos:-<). Apalagi buat perusahaan sebesar TEMPO yang sudah go public yang menghitung sen demi sen rupiahnya yang keluar-masuk. Kita sudah bisa mersakan sendirilah timpaan soal bisnis ini ke kitanya bagaimana dalam sistem kerja dan bla..bla..nya.

Kedua, soal keberpihakan. Gue sepakat dengan lo Met bahwa bersikap netral itu tidak ada. Memang kita harus membuat berita yang berimbang. Tapi coba liat lead-nya dari situ sudah terlihat keberpihakan media itu. Atau dari nara sumber yang dipilihnya. Saat perencanaan media (dalam hal ini contoh Koran TEMPO), saat rapat perencanaan pagi yang memutuskan berita-berita apa aja yang bakal dimuat keesokan harinya, ITU JUGA SUDAH SEBUAH KEBERPIHAKAN. Jadi nggak ada media yang tidak berpihak.

Atau yang dimaksud keberpihakan di sini, ketika terjadi sebuah skandal yang melibatkan seorang pengusaha bernama Ciputra, TEMPo akan membelanya atau memelintirnya, nggak? Kalau sepanjang pengetahuan gue emang tidak, cuma TEMPO tidak akan memuat berita itu. Minimal di jendela berita doang. Hehehehe....

Udah ah....takut kepanjangan gue.

Wassalam

posted by yura 6:05 AM


akhirnya bisa masuk juga......

Nimbrung mengenai jurnalisme di tanah air.
Menurut saya cuma satu jawabannya, media kita masih butuh banyak belajar dan yang penting adalah masyarakat kita masih banyak yang belum siap untuk berpikiran lebih maju. Coba kalau mau dilihat, masih banyak masyarakat yang membaca koran "ecek-ecek" dan mereka telan bulat bulat isi berita yang ada di dalamnya.

Kalau kita mau jujur, sebetulnya kasihan mereka, mereka cuma ingin dapat informasi dengan membayar lebih murah (koran2 seperti itu biasanya lebih murah kan dibanding Kompas, Tempo), tetapi karena kepentingan bisnis maka dicari lead yang sering bombastis dan isi berita yang diplintir.

Mengenai kenetralan dalam media kita, aku rasa belum ada media yang benar2 netral.

Tabik !!

posted by wahyu 6:05 AM

Nggor, kau nyeting jam masih blm klop. POstingku hari ini udah gak bisa dibaca gara-gara dianggap kemarin. Gak efektif juga arsip disimpen di tanggal. Blogger, tahu sendiri, lama terbuka jika refresh atau klik suatu link. Begitu boossss
posted by mr 6:01 AM

komet datang lagi!

soal fakta yang dibawa bagja aku setuju. tapi, aku tidak bisa tidak berpihak. menurutku jurnalisme tidak bisa netral. bohong, kalau ada yang bilang jurnalisme netral. ketidaknetralan itu inheren dalam sikap netral itu sendiri. katakanlah ketika koran menonjok sutiyoso, dengan fakta-fakta betapa buruknya kinerjanya, apa itu tidak memihak. biarpun orang berkomentar keberpihakan itu kepada suara publik (siapa suara publk?).

jadi, menurutku, kita perlu pertegas, kita berpihak kepada siapa?

tentang bisnis? no comment. kenyataannya kita gak pernah bisa lepas dari itu. pasrah dan menyerah? gak tahu juga. tapi menurutku, harus ada titik temu dari apa yang kita sebut bisnis dengan idealisme. idealisme? bagiku adalah bagaimana aku bisa menikmati menulis dengan syahdu. tanpa harus terbebani kuota berita. tanpa harus terbebani deadline (ekstrem). dan itu, tidak aku dapatkan disini.

posted by Komet 5:50 AM
Thursday, July 04, 2002
sama bos!!
posted by ang 11:38 PM

Nggor, bikin paragraf gimana? sama dengan di otokritik?
posted by mr 8:02 PM

Agenda setting juga tak bisa dihilangkan dari bisnis media. Itu juga niscaya. Saya ingat pernyataan OC Kaligis di Polda beberapa waktu lalu. Setelah dia panjang lebar omong soal suap Elaza Syarief, dan wartawan terus mendesak memojokan pengacara Tommy yang bermoral bejat itu, Kaligis bilang. "Ya silahkan, Anda punya hak menentukan lead." Ini pernyataan dari orang tua. Tapi menurut saya itu benar. Agenda setting yang paling kecil adalah menentukan lead. Itu fakta, memang. Tapi pilihan itu sendiri, sudah berbentuk opini yang paling kecil tingkatannya. Tapi kita tak bisa menghindarinya. Ada banyak hal-hal yang tak bisa dihindari wartawan yang ingin bersikap netral. Ini pikiran khas wartawan Indonesia. Di luar negeri pikiran semacam itu mungkin sudah kuno. Toh, sekali lagi, itu tak bisa dihindarkan. Tapi, Bung Komang, idealisme macam apa yang bertengkar tapi bergandeng tangan dengan pasar? Maka pernyataan Anda juga benar bahwa di mana idealisme yang bermain dengan opini publik itu? Saya kira ini tak bisa diperdebatkan lagi. Makanya saya bilang ini bisnis. Teman chating saya, yang kerja di Manulife, lebih suka baca Kompas soal pailit perusahaannya. Karena, katanya, Kompas memihak Manulife. TEMPO? "Gak ada mihak-mihaknya. Tapi akurat, bow. menyajikan fakta." Saya kira, menyajikan fakta, dalam jurnalisme, itu yang penting. Ini, Bung Komang--saya kira--jalan agar jurnalisme tak melacurkan diri.
posted by mr 7:59 PM

bulan ini ada hari anak sedunia. dalam logika jurnalisme yang baik, apa kira-kira yang perlu direfleksikan media ? setiap hari kita lihat anak-anak bekerja di jalanan, dengan tingkat mortalitas tinggi. dan di tv, dipajang pulapenyanyi cilik bertebaran. anak-anak yang seakan menjadi boneka orang tua, dan kehilangan identitas.
posted by ang 7:30 PM

bicara pasar dan tetek bengeknya tidak ada habisnya. mungkin sekedar mengiringi pertanyaan Komang, ada artikel dari kaum
marxist (teman saya bacanya markis) yang membedah beberapa media dalam hal provokasi. ada bbc, guardian, ap, dkk. ternyata pun mereka memiliki agenda pula. tapi saya gak tahu, apakah agendanya berdasar idealisme atau pasar.

posted by ang 7:24 PM

Sebuah pertanyaan yang mengganggu; apakah BBC juga pernah takluk pada PASAR dan KAPITAL? Juga 'Pantau'? Keduanya diakui sebagai media idealis yang berhasil mengikuti selera pasar tanpa harus melacurkan diri. Betulkah mereka idealis?
posted by wahyu.dhyatmika 8:57 AM

Pertanyaannya kemudian; bukankah PASAR selain identik dengan ‘menuruti keinginan khalayak ramai’ juga setali tiga uang dengan KAPITAL. Mustahil mengharapkan sebuah Pasar yang steril dari Kapital. Agenda Setting yang disebut-sebut Anggoro itu juga berselingkuh dengan Kapital, bukan? Lalu dimana idealisme pers bisa ‘bermain’ di lapangan yang penuh dengan intrik mengarahkan opini publik, menyebar isu, menjerat pembaca dengan informasi kacangan yang laris manis itu? Dengan cara apa?
posted by wahyu.dhyatmika 8:52 AM


Iya Anggoro benar, ada agenda setting dalam setiap informasi yang disampaikan lewat media massa. Ada ideologi. Mereka yang mengklaim diri tak berideologi sekalipun, sebenarnya punya ideologi sendiri yang mereka tak sadari. Itu sih kata Harry Binswanger di situs yang di-link Anggoro. Masalahnya juga tidak sesederhana seperti yang disebut Bagja (“Ini bisnis, Bung! Idealisme dan Pasar, saudara tiri yang tak gampang disatukan” –copyright bh bagja). Kalau saya tidak salah menangkap, Bagja mengakui bahwa dalam menuruti kemauan pasar, ada setitik harapan tak melacurkan idealisme. Namun, ia pesimis idealisme bisa mengimbangi keinginan pasar, karena katanya, “Ini Bisnis Bung!”. Dalam terminologi umum, bisnis berarti kegiatan ekonomi yang melibatkan modal. Modal sama dengan Kapital. Dengan kata lain, KAPITAL mengatasi PASAR yang mencoba idealis. Itu terjemahan saya atas statement Mr. Bags yang terhormat dan berjiwa orde baru itu…heheheheh…….

posted by wahyu.dhyatmika 8:45 AM

Penyakit orde baru mau ngatur-ngatur, kumat lagi. (Bukankah Mr. Bags yang pertama kali mengeluh karena Koran TEMPO tidak bisa memuat feature?) Jadi, sudahlah, mengalir saja. Mau ngomong jurnalisme yang bodoh, menjijikkan atau jenius, silakan saja. Jangan dibatasilah….
posted by wahyu.dhyatmika 8:45 AM

Untuk Komet, seperti kawan kita yang satu ini hapal betul artikel-artikel yang jadi bahan kuliah Sabtu itu. Sepertinya juga Anda harus sedikit mengeluarkan tenaga untuk naik ke lantai tiga menemui Pak Nurlis mengambil naskah yang saudara maksud itu, tidak hanya menagih di otokritik saja. Setelah itu perlihatkan pada kita, dan saya orang pertama yang akan memfotokopinya. Asal jangan yang ditunjukan tempohari itu. Saya sudah punya kalo tulisan Goenawan Mohamad. Bahkan wartawan kita dari Surabaya yang tangguh itu sudah memfotokopinya juga. Cepat, Met
posted by mr 7:44 AM

Sudahlah, idealisme dan pasar saudara tiri yang tak gampang disatukan. Ini bisnis, Bung. Saya ikut milis jurnalisme sastra. Tapi melulu ngomongin soal keanggotaan. Andreas Harsono jarang nulis lagi. Padahal di awal-awal cukup rame. Artikel di New York Time itu dikirim oleh Janet Steele, dosen dan peneliti media dari Amrik sana. Lumayan, cukup membukakan pemikiran pada jurnalisme. Saya kira blogger ini harus menjadi media alternatif ngomongin jurnalisme yang berbobot. Meski tak dipungkiri juga omong jorok dan sekenanya masih diperbolehkan. Karena satu itu penyakit gen bawaan. Tak sekedar otokritik yang isinya cuma keluhan dan keluhan. Mari bicara jurnalisme yang cerdas.
posted by mr 7:22 AM
Wednesday, July 03, 2002
Istilah koran kita dan koran TEMPO memang berbeda artinya. Saya lupa saya juga tidak punya saham di Yayasan Karyawan TEMPO. heheheheh…….. Katanya kalau mau sih bisa, tapi harus membayar sekitar Rp 7 miliar atau berapa gitu…
posted by wahyu.dhyatmika 11:18 PM

tambahan komentar: aku tak punya saham di bursa efek, jadi aku tak menganggap Koran Tempo sebagai koran kita
posted by ang 9:16 PM

ada tambahan referensi tentang filosofi jurnalisme liberal
posted by ang 9:13 PM

memang, apa yang dihaturkan Komang benar adanya, tak dikotomis. namun sekiranya kapitalisme media seakan menjadi keniscayaan. walau ada pula yang menggelinjang dan meneriakinya. salah satunya ucapan Robert W. Tracinski, mantan ketua The Center for the Moral Defense of Capitalism, berikut ini :

If capitalism is recognized as the only practical economic system—then why is it losing out to state control? The reason is that no one, neither on the left nor the right, is willing to defend capitalism as moral


di akhir tulisan saudara Komangmenyebut cita-cita luhur jurnalisme adalah menyediakan informasi. tapi informasi seperti apa ? informasi yang memiliki agenda setting ? tak ada yang objektif, memang. aku pikir, yang bisa dilakukan hanyalah meminimalisasinya. bukan menghancurkannya.paling tidak untuk saat ini.

posted by ang 8:55 PM

Tidak selalu begitu. Ruang untuk berita feature (istilah lain literary journalism) masih ada di koran kita. Menyitir Farid Gaban, semua rubrik di Koran TEMPO sebenarnya bisa dibuat feature. Tapi, memang ada kesenjangan antara apa yang dicita-citakan Mr. Gaban dengan apa yang dilakukan para redaktur di lantai tiga. Well, realitasnya memang begitu, mau apa lagi? Tapi –membantah Anggoro-- PASAR dan IDEALISME (dengan huruf sama-sama kapital) tidak selalu harus dipandang sebagai dikotomi. Banyak media yang mencoba idealis, dan hidup (Meski memang banyak juga yang mati hehehehe….). ‘Pantau’ misalnya. Atau kalau contoh di luar negeri, BBC. Oke, mereka dibiayai negara (dan funding asing untuk Pantau), tapi mereka punya audiens. Banyak bule yang protes ketika subsidi BBC mau dicabut. Menurut saya, mengikuti PASAR tidak selalu harus diterjemahkan sebagai melacurkan IDEALISME. Makna PASAR pada intinya adalah PUBLIK (Tidak tepat begitu memang, tapi mendekatilah). Bukankah menyediakan informasi seperti apa yang diinginkan publik, adalah cita-cita luhur jurnalisme?
posted by wahyu.dhyatmika 11:52 AM

okeh babak Bagjah, sudah saya ganti nih, yang kemarin itu waktu GMT bos!!

btw, ok juga link anda ke feature pulitzer itu, bisa buat belajar menulis.

Setahuku, corak tulisan dalam suatu media disesuaikan dengan pembacanya, istilah orang iklan "positioning and target market." jadi di sini kita bicara PASAR (dengan huruf besar), sementara anda mungkin bicara idealisme (dengan huruf kecil). SO, jika Anda mau berpanjang-panjang kata bikin aja media sendiri dan bermasturbasi dengan audiens yang sama seleranya. pasar kompas dan tempo berbeda, itu kata Malela, redaktur eksekutif Koran Tempo. Jadi sekali lagi kita bicara pasar.

Lalu Pantau,walau tergagap menerjemahkan jurnalisme sastra, aku pikir ini sebuah permulaan yang bagus, walau aku sendiri merasa capek membacanya. Atau mungkin kita sudah terbiasa dalam ritme yang cepat (seperti dalam klaim iklan itu) ?

posted by ang 6:43 AM

Tapi ngomong-ngomong soal jurnalisme sastra, yang bukunya baru terbit ditulis oleh seorang dosen dari Bandung, pembaca di Indonesia akan ngeh enggak ya? Koran TEMPO, setelah dikurangi jumlah halaman dan diperkecil kolomnya, justru mengutamakan berita cepat. Berita yang cukup dengan lead. Bahkan di satu iklannya yang dimuat di Majalah TEMPO, orang Indonesia sekarang butuh berita cepat, katanya. Jelas jurnalisme sastra tidak mendapat tempat di koran seperti ini. Bagaimana saudara melihat PANTAU sebagai majalah dengan teknik jurnalisme sastra? Saya baca kok tersendat-sendat, ya? Penyusunan dialog dan deskripsi kurang begitu afdol seperti kita membaca sebuah cerpen atau novel, misalnya. Salam
posted by mr 6:25 AM

Nggor, ini jamnya bisa dicreate gak? Ngaco tuh. Masa gua nulis jam 20.20 WIB dibilang jam 5 subuh?
posted by mr 6:17 AM

Buat Mas Wahyu ini ada artikel bagus dari New York Time. wartawan di sana sudah menggunakan teknik jurnalisme sastra dalam gaya penulisannya. Selamat membaca.
posted by mr 6:13 AM

berapa kali kamu ulang tahun : 23
dimana :dunia
apa reaksi anda: tetap hidup
bagus/tidak: tanyakan pada pinggul yang bergoyang

posted by ang 5:57 AM

pesta ? percuma, aku gak bisa datang....:)
posted by ang 5:55 AM
Tuesday, July 02, 2002
Tentang Children of Heaven

Berapa kali anda melihatnya : 3 kali
Dimana : rumah
Apa reaksi Anda : menangis bercucuran air mata
Bagus/Tidak : Bagus Sekali

Omong-omong, apakah seharusnya saya bikin pesta ya? Katanya ini hari Ulang Tahun saya? Ada usul?

posted by Sartan 11:40 PM

Perkenalkan, saya bukan manusia biasa yang mo ikut urun rembug.
Kayaknya disini banyak wartawan ya, aku mau belajar nulis dong! Terutama sama mas Bagja dan Mas Wahyu....dhyat
Tabik! makasih ya mas2 yang......ehm punya


posted by wahyu 9:54 PM

wooi ini juliete binoche
posted by mr 8:12 AM

Mewawancarai Dian Sastro mungkin sama rasanya seperti interveiw dengan Liv Tyler ya? Rada bloon juga si Liv ini? Dian itu katanya cerdas. Sepertinya ANggoro yang sudah pernah wawancara dengan artis yang lagi naik daun itu...ya nggak?
posted by wahyu.dhyatmika 5:34 AM

Selamat Sore !!!

Perkenalkan saya adalah manusia biasa yang ingin ikut urun rembug, tapi nanti saja. Untuk sementara, saya hanya ingin membaca yang sudah ditulis oleh mas-mas.

posted by Sartan 2:41 AM

berbicara tentang film memang menarik. Tapi yang aku tahu, film Iran memang memang mirip dengan Italia, sama-sama bergenre -Neo Realis. Film Italia dan Iran ini, kemudian diambil konsepnya oleh Garin dalam membentuk SET. Tapi sayangnya, gebrakannya belum ada.

Film Iran terlihat lebih sederhana, karena disamping ketinggalan teknologi, hal ini untuk mengelabui penguasa. Tengok wawancara Majidi, yang bikin Children of Heaven berikut ini:
The government has a monopoly on film stock and equipment. So every filmmaker has to go to them to rent these items.(maaf kemampuan bahasa Inggris saya terbatas dan gak nyambung)

Tentang Malena, Komang pasti kesengsem sama Mbak Monica ya?

posted by ang 12:00 AM
Monday, July 01, 2002
wah ini kayanya karena dari sono-nya. cobaliat blog lain, gak keliatan yg nulis kan ?
posted by ang 10:52 PM

anggoro, kenapa tulisan pengirimnya tidak muncul. gak tahu, nih siapa yang nulis. settingnya atau warnanya terserah. kamu yang moderator. pokoknya gimana caranya biar namanya kelihatan. setuju, gak yang lain?
posted by Komet 6:01 AM

Met, wis Met! Aku wis kenalan karo Pappilon!
posted by wahyu.dhyatmika 4:46 AM

Saya baru diperintahkan Komet untuk memperkenalkan diri pada Pappilon. "Hi Pappilon! Saya Komang"
posted by wahyu.dhyatmika 4:45 AM

Anggoro ini memang suka sok eksentrik. Mulai persoalan ngising saja yang dipaksakan esthetis hanya karena mlototi wajah Dian Sastro. "Selamat Datang di Dunia Pikiran" kata Anggoro mengingatkan pada ucapan tokoh Zeus pada Neo dalam The Matrix. Let's talk about film. Film terbaik yang saya tonton belakangan ini ada dua; Malena dan Children of Heaven. Keduanya bukan film mainstream yang memang didominasi produk Amerika. Saya paling terkesan pada ide ceritanya, yang kadang sangat sederhana, tapi menggelitik, lucu namun menyentak, menggugah kesadaran. Hal-hal sehari-hari di sekeliling kita ternyata menyimpan makna yang lebih, kalau mau direnungkan lebih dalam. Ada banyak peristiwa yang berseliweran di sekeliling kita, timbul tenggelam kalau kita tidak memperhatikan. Ada yang punya banyak cerita di belakangnya, kalau kita mau membuka mata dan telinga. Tapi, kita lebih sering sibuk dengan urusan kita sendiri. Lupa menengok sekeliling. Lupa hidup punya makna lebih dari sekadar bangun pagi, ke kantor, makan, tidur, ngising. Walau yang esthetis sekalipun.....
posted by wahyu.dhyatmika 4:42 AM

John Wilbye

Love Not Me

Love not me for comely grace,
For my pleasing eye or face,

Nor for any outward part:
No, nor for a constant heart!
For these may fail or turn to ill:
Should thou and I sever.

Keep, therefore, a true woman's eye,
And love me still, but know not why!
So hast thou the same reason still
To dote upon me ever.

posted by wahyu.dhyatmika 4:33 AM
Sunday, June 30, 2002
selamat datang saudara Pappilon di dunia pikiran. gimana proyek kita ?

aku pingin ngomentari tema tulisan komang. menurutku, apa yang dilontarkan Leo Batubara itu sesuatu yang jamak saja. Sehingga tidak aneh jika DPR sepakat. Dana untuk wartawan itu sendiri merupakan objekan bagi para pegawai. ambil contoh di DPR. bagian pemberitaan melakukan perkongsian dengan para wartawan senior untuk mendapatkan jatah. DI Departemen Pendidikan Nasional, setiap tahun ada acara wartawan yang pos di sana dikirim ke luar daerah. sekedar piknik. masalah berita ? urusan lain. Bahkan untuk anak-anak baru atau luar gang yang ngepos (kebanyakan generasi tua) susah untuk mendapat fasilitas ini. Ini dilakukan untuk menghabiskan jatah dana tersebut.

posted by ang 9:26 PM

lho ini apa? ruang kendali mutu tempo grup ya? hueheheh komet kamu tidak hanya sering kehilangan berita tapi juga kehilangan gairah malam.
posted by pappi 10:52 AM

Nggor, bikin link di blogger itu pegimane caranye? Trus kalau mau ngisi poto-poto gimana? Sori deh kalian belum kuijinkan mengunjungi http://olenka.blogspot.com. Masih 'under construction'........
posted by wahyu.dhyatmika 7:45 AM

Komet, aku pikir kau belum kehilangan momen itu. Kalau memang mau dibuat feature, masih bisa kok. Ditelusuri lagi aja, ceritanya. Awal penipuan itu bagaimana bla bla bla, terus kamu bisa mblusuk mblusuk ke perumahan tentara, melihat bagaimana miskinnya hidup mereka dan sebagainya bla bla bla. Trus tanya komandannya, kok boleh tentara demo seperti itu? Niru mahasiswa ya? Pingin ditembak juga ya? heheheheheheh.....Kemarin, aku mblusuk ke KR, lokalisasi tersamar di pasar rumput, Manggarai. Backingnya ternyata PM yang kantornya 200 meter dari lokalisasi itu. "Cari sampingan," katanya sambil menenggak bir hitam. Hebat kan tentara kita? Hidup tentara!!!!!
posted by wahyu.dhyatmika 7:37 AM




blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis