TagBoard 
nama

URL or Email

pesan(smilies)



arsip


Saturday, August 24, 2002
Tujuh sastrawan Jawa diadili di Surabaya

Tujuh orang sastrawan Jawa sebagai terdakwa dalam acara Pengadilan Penerima Hadiah Sastra 'Rancange' bagi Pengarang dan Penyair Sastra Jawa Tahun 1994-2001 di Surabaya, 30 Agustus 2002.

Bonari Nabobenar, salah seorang hakim dalam pengadilan tersebut, Kamis, mengatakan, enam terdakwa di antaranya berasal dari Jawa Timur. Masing-masing adalah FC Pamudji, Satim Kadaryono, Esmiet, Suharmono Kasiyun, Widodo Basuki dan Djayus Pete. Satu orang lainnya adalah Djaimin K yang berasal dari Yogyakarta.

"Ini betul-betul pengadilan. Tetapi bidangnya adalah kesenian. Tujuannya sama dengan pengadilan umum, mencari keadilan. Ada ketidakadilan dalam penerimaan Rancange. Misalnya, sebagian besar penerimanya berasal dari Jawa Timur sedangkan Jawa Tengah belum pernah ada," kata Bonari.

FC Pamudji penerima Rancange tahun 1994 untuk novel Sumpahmu Sumpahku, Satim Kadaryono (1996) untuk novel Timbreng, Esmiet (1998) untuk novel Nalika Langite Obah, Suharmono Kasiyun (1999) untuk novel Pupus Kang Pepes, Widodo Basuki (2000) untuk kumpulan guritan Layang Saka Paran, Djayus Pete (2001) untuk kumpulan crita cekak (Cerpen) Kreteg Emas Jurang Gupit dan Djaimin K (1997) untuk kumpulan guritan Siter Gadhing.

Bonari yang juga Humas Panitia Penerimaan Hadiah Rancange 2002 itu menjelaskan, kenyataan tersebut menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak. Terutama pengarang dan penyair yang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta dan Jawa Tengah.

Persoalan lain yang akan mengemuka dalam pengadilan di kompleks Taman Budaya Jatim (TBJ) untuk pembacaan putusan itu adalah penjurian tunggal untuk menentukan sastrawan atau tokoh sehingga dicurigai bernuasa KN (kolusi dan nepotisme).

Pengadilan tersebut menghadirkan Hakim Ketua Rama Sudiyatmana dari Semarang, Hakim Anggota Daniel Tito (Sragen), Bonari Nabonenar (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto) dan A Nugroho (Jogjakarta).

Jaksa terdiri atas Bagus Putu Parto dari Blitar sebagai Ketua dengan anggota, Suwardi Endraswara (Jogjakarta), Triyanto Triwikromo (Semarang), Yunani Prawiranegara (Gresik) dan Budi Palopo (Gresik).

"Sebagai saksi meringankan adalah Tjahjono Widarmanto (Ngawi), Herry Lamongan (Lamongan), Es Danar Pangeran (Lamongan) dan Irul Budianto (Solo). Sementara saksi Memberatkan adalah Yunani Sri Wahyuni (Surabaya), Sunarko Sodrun Budiman (Tulungagung) dan Sri Widati Pradopo (Jogjakarta)," ujarnya.

Acara tersebut diikuti sekitar 80 pengarang dan penyair sastra Jawa modern dari berbagai penjuru tanah air, khususnya dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Selain itu juga dihadiri pemerhati sastra Jawa, para ahli sastra Jawa, dan peneliti sastra Jawa.

Menurut Bonari, dari pengadilan tersebut diharapkan melahirkan kedewasaan berpikir pengarang dan penyair sastra Jawa, penilaian buku karya sastra secara transparan dan merangsang kreatifitas dalam penciptaan karya sastra. (ANT/hyo)

posted by Komet 2:41 AM

Dibilang tidak ada yang baru, saya kira iya. Saya mempertimbangkan memberi materi bagi mahasiswa calon penggarap buletin di kampusnya. Mereka bukan wartawan. Apalagi mereka anak Fakultas Kedokteran. Rata-rata tingkat satu dan dua. Saya khawatir jika memasukan materi-materi yang bukan dasar, justru mereka tidak mencerna apa yang ingin saya kemukakan. Tetapi perdebatan di sini menyangkut isi yang saya ungkapkan. Bagi kita, yang sudah setahun atau lebih jadi wartawan, mungkin ini basi. Tapi bukankah di kelas Senin juga membahas hal-hal yang, kita anggap, sudah basi? Tapi yang basi bukan tidak mungkin enak diperdebatkan. Yura bisa memasukan materinya juga di sini, agar ada perbandingan.
posted by mr 12:03 AM
Friday, August 23, 2002
Ini bahan tulisan saya untuk seminar jurnalistik di UI April lalu. Fanelis lainnya Yura dan Edy Budyarso (majalah Tempo) dan beberapa wartawan senior media lain. Saya harap ini diperdebatkan.
-----------------------------------
Teknik Menulis Berita

Oleh Bagja Hidayat*

Menulis adalah pekerjaan seni. Pelukis terkenal Sudjojono pernah ditanya seseorang, "Bagaimana Anda melukis?" Sudjojono malah balik bertanya, "Apakah saudara punya buku panduan naik sepeda?" Begitulah. Menulis berita pun tak jauh beda dengan pekerjaan melukis.

Namun, karena berita menyajikan fakta-fakta, ada kaidah-kaidah tertentu yang tak boleh ditinggalkan seorang wartawan. Ada begitu banyak buku panduan dan teknik menulis berita yang sudah diterbitkan yang ditulis wartawan senior, meski pokok-pokoknya mengacu pada satu hal. Jika pun makalah ini ditulis, hanya sedikit pokok-pokok yang bisa dijelaskan, karena menulis berita tidak mungkin diuraikan secara sistematis.

Berbeda dengan majalah yang sifat beritanya lebih analisis, berita keras tidak boleh beropini. Sehingga tulisan hanya menyajikan fakta-fakta. Dan waktu juga menjadi perhatian lainnya. Berita majalah berbentuk feature berita sehingga sifanya tidak tergantung waktu. Sedangkan koran yang terbit harian sifat beritanya pun terbatas oleh waktu. Esok harinya, sudah ada berita baru sebagai perkembangan berita sebelumnya. Apalagi media dotcom yang melaporkan perkembangan dari jam ke jam bahkan dari menit ke menit. Di sini hanya akan dibatasi menulis berita keras.

Judul
1. Judul berita sebisa mungkin dibuat dengan kalimat pendek, tapi bisa menggambarkan isi berita secara keseluruhan. Pemberian judul ini menjadi penentu apakah pembaca akan tertarik membaca berita yang ditulis atau tidak.

2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat. Seorang penulis novel terkenal, Stephen King, pernah mencemooh penulis yang menggunakan kalimat aktif. "Kalimat pasif itu aman," kata King. Mungkin benar, tapi memberi judul berita bukan soal aman atau tidak aman. Judul aktif akan lebih menggugah. Bandingkan misalnya judul "Suami Istri Ditabrak Truk di Jalan Tol" dengan "Truk Tronton Tabrak Suami Istri di Jalan Tol". Judul kedua, rasanya, lebih hidup dan kuat. Namun pemberian judul aktif tidak baku. Ada judul berita yang lebih kuat dengan kalimat pasif. Biasanya si subyek berita termasuk orang terkenal. Misalnya judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

3. Persoalan judul menjadi menarik seiring munculnya media berita internet. Memberi judul untuk koran yang waktunya sehari tidak akan memancing pembaca jika mengikuti peristiwa yang terjadi, karena peristiwa itu sudah basi dan ditulis habis di media dotcom. Memberi judul untuk koran sebaiknya memikirkan dampak ke depan. Misalnya, judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

Bagi koran yang terbit esok pagi, misalnya, judul ini basi karena media dotcom dan radio (juga) televisi, sudah memberitakannya begitu vonis dijatuhkan. Untuk mengetahui dampak ke depan setelah vonis dijatuhkan, wartawan yang meliput harus kerja lebih keras. Misalnya dengan bertanya ke sumber-sumber dan Syahril sendiri soal dampak dari vonis itu.

Pembaca, tentu saja ingin tahu perkembangan berikutnya pada pagi hari setelah mendengar berita tersebut dari radio, televisi dan membaca internet malam sebelumnya. Namun, soal judul untuk koran dan media dotcom dengan cara seperti ini masih menjadi perdebatan. Karena judul "Syahril Sabirin Divonis..." masih kuat ketika ditulis esok harinya. Ini hanya soal kelengkapan saja. Jika dotcom dan media elektronik hanya membuat breaking news-nya saja, koran—karena mempunyai waktu tenggat lebih lama—bisa melengkapi dampak-dampak tersebut di tulisannya, meski memakai judul yang sama.

Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Sehingga beberapa buku panduan menulis berita menyebut lebih dari 10 lead yang bisa dipakai dalam sebuah berita. Namun, hal yang tak boleh dilupakan dalam menulis lead adalah unsur 5W + 1H (Apa/What, Di mana/Where, Kapan/When, Mengapa/Why, Siapa/Who dan Bagaimana/How) . Pembaca yang sibuk, tentu tidak akan lama-lama membaca berita. Pembaca akan segera tahu apa berita yang ditulis wartawan hanya dengan membaca lead. Tentu saja, jika pembaca masih tertarik dengan berita itu, ia akan melanjutkan bacaannya sampai akhir. Dan tugas wartawan terus memancing pembaca agar membaca berita sampai tuntas.

2. Lead terkait dengan peg atau biasa disebut pelatuk berita. Seorang reporter ketika ditugaskan meliput peristiwa harus sudah tahu "pelatuk" apa yang akan dibuat sebelum menulis berita. Pelatuk berbeda dengan sudut berita. Ada satu contoh. Misalkan seorang reporter ditugaskan meliput banjir yang merendam ratusan rumah dan warga mengungsi. Yang disebut sudut berita adalah peristiwa banjir itu sendiri, sedangkan peg adalah warga yang mengungsi. Mana yang menarik dijadikan lead? Anda bisa memilih sendiri. Membuat lead soal mengungsi mungkin lebih menarik dibanding banjir itu sendiri. Karena ini menyangkut manusia yang secara langsung akan berhubungan dengan pembaca. Berita lebih menyentuh jika mengambil lead ini. Manusia, secara lahiriah, senang menggunjingkan manusia lain.

Badan Berita
1. Penentuan lead ini juga membantu reporter menginventarisasi bahan-bahan berita. Sehingga penulisan berita menjadi terarah dan tidak keluar dari lead. Inilah yang disebut badan berita. Ada hukum lain selain soal unsur pada poin 1 tadi, yakni piramida terbalik. Semakin ke bawah, detail-detail berita semakin tidak penting. Sehingga ini akan membantu editor memotong berita jika space tidak cukup tanpa kehilangan pentingnya berita itu sendiri.

2. Untuk lebih mudahnya, susun berita yang berawal dari lead itu secara kronologis. Sehingga pembaca bisa mengikuti seolah-olah berita itu suatu cerita. Teknik ini juga akan membantu reporter memberikan premis penghubung antar paragraf. Hal ini penting, karena berita yang melompat-lompat, selain mengurangi kejelasan, juga mengurangi kenyamanan membaca.

3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat. Dalam berita, akurasi menjadi hal yang sangat penting. Jangan sungkan untuk menanyakan langsung ke nara sumber soal namanya, umur, pendidikan dan lain-lain. Bila perlu kita tulis di secarik kertas lalu sodorkan ke hadapannya apakah benar seperti yang ditulis atau tidak. Akurasi juga menyangkut fakta-fakta. Kuncinya selalu cek-ricek-triple cek.

Bahasa
1. Bahasa menjadi elemen yang penting dalam berita. Bayangkan bahwa pembaca itu berasal dari beragam strata. Bahasa yang digunakan untuk berita hendaknya bahasa percakapan. Hilangkan kata bersayap, berkabut bahkan klise. Jika narasumber memberikan keterangan dengan kalimat-kalimat klise, seorang reporter yang baik akan menerjemahkan perkataan narasumber itu dengan kalimat-kalimat sederhana. Tentu saja kita tidak mengerti jargon-jargon yang seperti, "Disiplin Mencerminkan Kepribadian Bangsa" yang ditulis besar-besar pada spanduk. Siapa yang peduli bangsa? Berita yang bagus adalah berita yang dekat dengan pembaca.

2. Menulis lead yang bicara. Untuk mengujinya, bacalah lead atau berita tersebut keras-keras. Jika sebelum titik, nafas sudah habis, berarti berita yang dibuat tidak bicara, melelahkan dan tidak enak dibaca. Ada buku panduan yang menyebut satu paragraf dalam sebuah berita paling panjang dua-tiga kalimat yang memuat 20-30 kata. Untuk menyiasatinya cobalah menulis sambil diucapkan.

3. Berita yang bagus adalah berita yang seolah-olah bisa didengar. Prinsipnya sederhana, makin sederhana makin baik. Seringkali reporter terpancing menuliskan berita dengan peristiwa sebelumnya jika berita itu terus berlanjut, sehingga kalimat jadi panjang. Untuk menghindarinya, jangan memulai tulisan dengan anak kalimat atau keterangan. Agar jelas, segera tampilkan nilai beritanya.

4. Menghidari kata sifat. Menulis berita dengan kata sifat cenderung menggurui pembaca. Pakailah kata kerja. Menulis berita adalah menyusun fakta-fakta. Kata "memilukan", misalnya, tidak lagi menggugah pembaca dibanding menampilkan fakta-fakta dengan kata kerja dan contoh-contoh. Tangis perempuan itu memilukan hati, misalnya. Pembaca tidak tahu seperti apa tangis yang memilukan hati itu. Menuliskan fakta-fakta yang dilakukan si perempuan saat menangis lebih bisa menggambarkan bagaimana perempuan itu menangis. Misalnya, rambutnya acak-acakan, suaranya melengking, mukanya memerah dan lain-lain. "Don't Tell, But Show!"

5. Menuliskan angka-angka. Pembaca kadang tidak memerlukan detail angka-angka. Kasus korupsi seringkali melibatkan angka desimal. Jumlah Rp 904.775.500, lebih baik ditulis "lebih dari Rp 904 juta atau lebih dari Rp 900 juta".

Ekstrak
1. Jangan pernah menganggap pembaca sudah tahu berita yang ditulis. Dalam menulis berita seorang reporter harus menganggap pembaca belum tahu peristiwa itu, meski peristiwanya terus berlanjut dan sudah berlangsung lama. Tapi juga jangan menganggap enteng pembaca, sehingga timbul kesan menggurui. Menuliskan ekstrak peristiwa sebelumnya dalam berita dengan perkembangan terbaru menjadi penting.

Panduan ini tidak mutlak untuk menulis berita. Masih banyak hal yang belum dijelaskan dalam makalah ini. Hal paling baik bisa menulis berita yang enak dibaca adalah mencobanya. Jadi, selamat mencoba.

* wartawan Tempo News Room

Referensi:

1. Simbolon, Parakitri T., 1997. Vademekum Wartawan. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
2. Hadad, Toriq dan Bambang Bujono (Ed)., 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo

posted by mr 6:45 AM

Saya pikir, jurnalisme komunitas sudah diterjemahkan secara detail di halaman pertama situs www.kecapi.net, meski memang diterjemahkan secara bebas.

(Penggagas situs itu menulis : Selamat, anda telah memasuki dunia baru dalam jurnalistik Indonesia. Kadang kita berpikir bahwa kebebasan pers di Indonesia berhenti di meja redaksi. Kami berusaha 'merubah' itu. Kecapi.net berusaha memberi keleluasan kepada anda yang suka menulis dan mempunyai bahan-bahan tulisan untuk mempublikasikannya di kecapi.net. Anda bisa kirimkan artikel/opini anda ke redaksi@kecapi.net. Kecapi.net akan berkembang bersama anda, semua penghasilan yang didapat dari iklan akan dibagi bersama anda di akhir tahun - kontributor berita dan opini di kecapi.net. Salam -)

Artinya, jurnalisme komunitas menurut mereka ya jurnalisme yang dibuat bersama-sama dalam sebuah komunitas. Yang menikmatinya siapa? Ya komunitas itu sendiri. Konsepnya mungkin agak sama dengan community paper. Atau jangan2 menjiplak konsep itu dan mentransformasikannya di dunia maya.

Setahu saya, banyak media yang kini mengembangkan pola seperti kecapi. net. Pantau sebagai satu contoh. 80 persen tulisannya berasal dari sumbangan kontributor yang dibayar secara freelance. Ini lahan yang bagus untuk para jurnalis yang tidak mau terikat oleh satu media. begitu menurut saya.

Salam.

posted by wahyu.dhyatmika 12:23 AM

Question: What is the height of globalisation?
Answer: Princess Diana's death.

Question: How come?

Answer: An English princess with an Egyptian boyfriend crashes in a French tunnel,driving a German car with a Dutch engine, driven by a Belgian who was pissed on Scottish whiskey, followed closely by Italian Paparazzi, on Japanese motorcycles, treated by an American doctor, using Brazilian medicines! And this news is sent to you by an Indian, using Bill Gates' technology which he stole from the Japanese using a Dell computer assembled in Malaysia

anonymous source

posted by wahyu.dhyatmika 12:17 AM
Thursday, August 22, 2002
Arung*

Aku tak bisa lagi melihat dunia di depanku. Segalanya pekat. Dunia yang terlalu besar. Frekuensi retinaku tak menangkap bayangan apa gerangan yang melintas tiba-tiba. Mungkin Tuhan. Seperti yang dilukiskan guru sekolahku ketika kecil.

Ia mengajarkan bagaimana melihat Tuhan dengan mata terbuka. "Tutupkan telapak tanganmu ke matamu. Kau akan melihat Tuhan di sana," guru berkata. Tapi aku tak melihat Tuhan. "Tapi kau tak akan tahu Tuhan," begitulah. Suara itu datang dari masa lalu. Terngiang kembali seperti gema yang datang pelan-pelan. "Tapi kau tak akan tahu Tuhan."

Tapi itu cinta, guruku. Suara yang selalu datang kembali, bukankah, itu cinta? Kau menuliskan itu dalam buku harianku yang kupelihara baik-baik. Dan baiklah. Dengan salut yang tak pernah habis, aku mengenang bahwa Tuhan mungkin cinta yang selalu datang tiba-tiba. Seperti Drestrasta yang kehilangan biji matanya oleh sebuah takdir yang ia ciptakan sendiri. Tapi maaf, aku sedang keluar sebentar, Tuhan.

Kau mengajarkan, guruku, peliharalah cinta yang datang tiba-tiba. "Tapi aku selalu mendapatkan cinta yang datang tiba-tiba. Tuhankah itu?" Kadang juga salah waktu. Ia tak datang memberi kabar. Ia pulang tanpa pamitan. Memercikan rona-rona keemasan dalam pikiran yang selamanya tak pernah ajeg. Aku menikmatinya sebagai sebuah percintaan yang, aku pikir, tak akan habis-habis.

Kadang juga ia memaksa aku merindu pada setiap subuh, pada setiap gerimis yang turun dengan ritmis. Seperti kematian seorang penyair pada suatu siang. Tahukah kau apa yang terjadi ketika penyair itu meninggal? Tak ada angin. Suara hilang. Kata-kata seperti jeda antara bunyi lonceng gereja, antara paragraf-paragraf yang tak pernah terisi oleh suatu makna sekalipun. Bukankah makna seperti ular yang melingkar dalam setiap huruf? Ketika penyair itu meninggal, puisi bukan lagi sajak yang berjarak. Dan aku mengangeni setiap percintaan yang lengang.

Kini, aku terus mengangeni moment seperti itu. Tapi, seperti Godot, ia tak datang ketika ditunggu. Dan ketika datangpun, aku tahu, itu bukan Godot yang sebenarnya. Karena Godot tak pernah datang, bukan? Beckett yang cerdas sekalipun akan membanting petnya jika tahu Godot itu datang. Aku kangen percintaan yang lengang. Tapi, kapankah ada lagi penyair yang meninggal pada suatu siang?

Percintaan yang sanggup mengabaikan sebuah bentuk. Tidak seperti Machiavelli yang menggilainya. Orgasme yang bertubi-tubi bukan lagi statistik kepuasan birahi yang aku rasakan ketika menjelangnya. Renjana yang tumpah bukan lagi seloka untuk melukiskan betapa aku kelelahan menghantamkan batang zakarku ke dalam labirin vagina yang abadi. Karena orgasmeku adalah metamorfosis setiap tubuh dalam diriku. Aku selalu berubah tiap kali keinginan itu membuncah.

Kau tak bisa merasakan, guru, betapa aku tersiksa sekaligus menikmatinya ketika aku ingin Tuhan. Pelajaranmu berharga, memang, tapi tak sanggup menjawab setiap percintaan yang aku inginkan. Aku sedih mengatakan ini. Kuharap kau tak lupa bahwa sedih adalah tali persembahan baktiku. Aku menghormatimu lebih dari cinta yang dimiliki Rahwana atas tubuh Shinta. Tak ada seorangpun yang sanggup mengulur kain kemben yang melilit tubuh itu. Tak seorang pun.

Kau mungkin salah. Tapi salah juga berharga pada benar yang diyakini manusia. Ketika Pandawa, yang kalah berdadu, mempersembahkan setiap tubuh yang berarti bagi hidup Kurawa, penyamaran adalah sebuah kebenaran yang tak bertampik. Apa jadinya jika Drupadi mengaku bahwa ia istri seorang Arjuna? Rahwana, aku yakin, tak akan semerah itu warna muka aslinya. Dan dunia, yang tak bisa kulihat ini, mungkin tak berwarna seperti kita saksikan kini.

Aku kini bisa menampik setiap dirimu. Bahwa Tuhan yang aku inginkan adalah Tuhan yang bisa menari. Bukan Tuhan yang hanya diam ketika gamelan mengalun dan ronggeng mulai membuka kebayanya. "Aku menampik Tuhanmu." Tuhanku bukan lagi bayangan yang melintas tiba-tiba, ketika aku tak lagi bisa melihat dunia yang tak berjarak.

Sekali waktu aku pernah merasakan ia datang melalui jendela yang terbuka. Sebuah bayangan yang tak berdefinisi. Menyapaku dengan sambutan dewa-dewa ketika diturunkan ke bumi. Aku terkesiap. Aku hampir saja menyakini bahwa ia telah datang pada saat yang tak terlalu tepat. Bayangkan, tak ada gairah yang muncul tiba-tiba. Tak ada gelora sperma yang melonjak-lonjak. Aku hanya ternganga. Dan berpikir bahwa ini bukan Tuhan yang sebenarnya. Aku benar, ternyata, dia tak datang lagi ketika aku tunggu. Dia tidak seperti gema.

Padahal aku telah menyiapkan sebuah ruang untuk bercinta sepuasnya. Dia tak datang. Sayang. Aku hendak menguji seberapa jauh setiaku menerima gema yang merambat pelan-pelan melalui jendela. Menyelusup lewat pori-pori kusen jendelaku, lewat sel-sel kayu yang bersilangan memanjang. Lantas merayap melalui pori dan urat nadiku. Menegangkan setiap syaraf dalam seluruh pembuluh darahku. Hingga aku orgasme yang terkatakan. Tapi, sayang, dia tak datang.

Aku kembali berharap, suatu ketika datang sebuah gema yang mengabarkan dia akan datang. Tapi tak. Dia datang selalu di luar rencana setiap pengharap yang setia. Aku kembali menghadapi dunia yang punya emisifitas lebih sari satu. Fisikia tak bisa menjangkau warna yang melebihi setiap angka ketetapan, di luar rumus-rumus yang tak berhingga. Guru, aku mengarung mencari Dia.

* cuplikan kisah yang lebih luas

posted by mr 9:55 AM

Buat kemerdekaan, ada puisi. tulisannya si Gibran.

BANGSA KASIHAN


Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian
yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum
yang tidak ia panen,
dan meminum susu
yang ia tidak memerasnya.

Kasihan bangsa yang menjadikan
orang dungu sebagai pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah
sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu
dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,
sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan diatas kuburan,
tidak sesumbar
kecuali di reruntuhan,
dan tidak memberontak
kecuali ketika lehernya sudah
berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang
tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan terompet kehormatan namun
melepasnya dengan cacian, hanya
untuk menyambut penguasa baru lain dengan
terompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu dan orang
kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan
masing-masing pecahan menganggap dirinya
sebagai bangsa.


posted by wahyu.dhyatmika 6:39 AM

ada situs yang menamakan diri jurnalisme komunitas. ketika kulihat tetap aja nggak jelas apa maksud dari jurnalisme komunitas itu. ada yang bisa menduga ?

btw, sebagai realisasi diskusi bareng dengan komang alias wahyu dyatmika, dede, dan komet maka diadakan ajang menulis cerita secara beramai-ramai. Jadi siapa saja yang sempat, silakan meneruskan ceritanya, tentu saja yang terdaftar sebagai anggota. Bagi yang berminat silakan kirim e-mail ke anggoro@difu.com. Sedangkan alamatnya di http://narasi.blogspot.com

posted by ang 3:41 AM

..n..y..a...

setelah berpeluh, aku mengeluh
dan menangisi ..n..y..a

setelah itu
aku bisa berlari mengitari istal kecil disamping rumah
sementara kudaberponi birumenatapku heran

aku balas menatapnya
mengajak bercinta setiap kuda
dimana saja

posted by ang 3:38 AM
Wednesday, August 21, 2002
Sekedar?

Baiklah itu jawabmu
Ku kan menunggu

Baiklah itu inginmu
Ku kan tetap menunggu
Baiklah itu mimpimu
Ku kan bersabar

Tak pernah asa terputus
Tak akan kalau hayat tersabung

Adalah bisikan lampau bersuara. Tak baik mengekang cinta.
Biar sang pesona mengalir
Dengan segala karunianya

Inilah kupaham, ada pun kemerdekaan yang engkau genggam
Meski pilu dan getir lanjutnya

Diri tak memaksa,
menuntut pun sekali kali tidak!

Layak gombal, tapi bukan. Bukan itu jurusku
Sunggu benar aku menyayangimu.
Seterusnya cukup kau beri ttkhbs

-kay-

posted by mel 2:30 AM




blog TOELIS, diisi oleh beberapa manusia. jika berminat untuk ikut menggunjingkan, menumpahkan, membumikan, atau mengumpatkan apa saja silakan kirim email ke anfus@frogshit.com dengan subject: ruang tulis